Wednesday, August 30, 2006

Awas, Islam Dirusak dari Dalam

Indo Pos & Jawa Pos, Minggu, 27 Agt 2006,

Awas, Islam Dirusak dari Dalam

Judul Buku : Liberalisasi Islam di Indonesia (Fakta & Data)
Penulis : Adian Husaini, MA
Penerbit : Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia
Cetakan : I, Mei 2006
Tebal : iii + 76 halaman

Perdebatan aliran teologi Qodariyah, Jabariyah, atau Mu’tazilah dalam Islam sudah tidak menarik lagi. Perbedaan yang tidak pernah ada titik temunya itu dianggap usang dalam khasanah intelektual Islam. Dalam beberapa tahun terakhir, liberalisasi Islam telah menyeruak menjadi tema perdebatan yang sangat sengit di jagat intelektual Islam di Indonesia.

Dengan heterogennya aliran-aliran Islam, tidak sedikit menjadi aliran nyeleneh yang keluar dari mainstream ajaran Islam itu sendiri. Di antara beberapa aliran Islam ini, seperti Ahmadiyah, Ingkar Sunnah, atau Lia Eden, maka kelompok Islam liberal adalah yang paling punya masa depan.

Wajar saja, karena mereka mendapat sokongan yang kuat dari negara asing. Negara Barat punya agenda untuk melemahkan Islam dengan proyek liberalisasi Islam secara besar-besaran. Dana pun digelontorkan untuk LSM yang bersedia menjadi corongnya.

Liberalisasi Islam yang mereka bawa benar-benar mengerikan. Tidak hanya melakukan dekonstruksi terhadap syariat Islam, mereka bahkan membongkar landasan akidah. Apa yang mereka lakukan ini sebenarnya mengikuti jejak tradisi Yahudi dan Kristen (hlm. 6).

Dalam buku Liberalisasi Islam di Indonesia, Adian Husaini mengelompokkan tiga program liberalisasi Islam yaitu liberalisasi akidah Islam, liberalisasi Alquran, dan liberalisasi syariat Islam. Liberalisasi akidah Islam dilakukan dengan penyebaran paham pluralisme agama. Sejarah Islam sendiri sebenarnya mengakui keberagaman alias pluralitas, yakni mengakui adanya agama lain. Islam juga mengajarkan untuk menghormati dan saling menghargai pemeluk agama lain dalam bingkai perbedaan. Pemahaman tentang keberagaman ini tidak dilarang.

Tapi pluralisme agama ini tidak dipahami demikian. Paham ini menyatakan bahwa semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang sama. Dalam bahasa sederhana, semua agama itu sama. Sehingga tidak boleh ada klaim bahwa agamanya sendiri yang benar.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun perlu meluruskan. Tahun 2005, MUI mengharamkan ajaran ini. Vatikan pun dibuat gerah. Pada 2000, pemimpin tertinggi umat Katolik sedunia mengeluarkan Dekrit "Dominus Jesus" yang menolak paham pluralisme agama.

Hasil kajian disertasi doktor yang dipublikasikan dalam buku Tren Pluralisme Agama, Dr Anis Malik Thoha berhasil membuktikan bahwa pluralisme agama adalah sebuah "agama baru" yang destruktif terhadap semua agama. Ide yang terkesan memberikan solusi menjanjikan, menurut Anis, justru sebenarnya intoleran, pemaksaan, dan penuh kezaliman.

Aspek kesucian Alquran juga diruntuhkan oleh penganut liberalisasi Islam dengan menyamakannya dengan kitab agama lain. Bahkan Kalamullah itu dianggap masih bermasalah dan perlu diedit. Tidak perlu mensakralkan Alquran karena kitab ini dianggap sebagai perangkap bangsa Quraisy (hlm. 41).

Kekonyolan dilanjutkan dengan melakukan liberalisasi syariat Islam. Hukum Islam yang sudah qath’iy dan pasti, dibongkar dan dibuat hukum baru. Paradigmanya adalah kontekstualisasi. Sebagian hasilnya adalah "fatwa" diperbolehkannya kawin beda agama atau kawin sesama jenis (homoseksual).

Mengungkap dengan Fakta

Kegalauan Adian semakin mendalam tatkala melihat bahwa liberalisasi Islam justru banyak muncul dari kampus yang berlabel agama, yakni IAIN/UIN. Ini adalah buah dari benih liberalisasi Islam yang ditanam Harun Nasution saat memimpin IAIN Ciputat tahun 1970-an.

Jika kita amati, ada sebuah fenomena religiusitas yang bisa dijumpai sejak era 90-an. Terjadi "sekularisasi" kelompok "santri" dan "santrinisasi" kelompok "sekuler". Di kampus yang dianggap santri seperti IAIN justru terjadi "sekularisasi". Namun perguruan tinggi umum yang dicap "sekuler", justru ditemukan gairah keberagaman yang sangat kuat.

Apa yang diungkap Adian dalam buku ini bukan omong kosong. Kandidat doktor bidang pemikiran dan peradaban Islam di Universitas Islam Internasional Malaysia ini mengajukan fakta dan data. Berbagai pemikiran pengasong liberalisasi Islam baik melalui buku, kajian akademik, atau artikel di media massa didokumentasikan dengan baik.

Di sisi lain, banyak yang menyangsikan konsistensi pemikiran dan tindakan penganjur liberalisasi Islam. Mereka menganggap semua agama sama benar, tetapi hingga kini belum ada berita mereka berbondong-bondong bereksperimen pindah agama untuk menjajal teori mereka. Toh bukannya, kata mereka, semua agama sama benar.

Yang jelas, pemikiran liar mereka bisa tak terbendung. Dengan didukung dana negara asing dan corong media massa, mereka bisa menginjeksikan virus liberalisme ke masyarakat secara massif.

Buku ini bisa dikatakan sebagai ringkasan dari tiga buku yang ditulis Adian. Yaitu Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya (2002), Wajah Peradaban Barat: dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal (2005), dan Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi (2006).

Adian sangat produktif menulis buku, kehadirannya sangat diperlukan sebagai penyeimbang derasnya kampanye liberalisasi Islam. Dalam buku Intelegensia Muslim dan Kuasa (Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20), Dr Yudi Latif menempatkan Adian sebagai generasi keenam intelektual Islam. Posisi pemikirannya berdiri diametral dengan penerus ide pembaruan Islam.

Bagi mereka yang tidak sempat membaca kajian Adian yang komperehensif dalam ketiga bukunya, buku yang disajikan secara bernas ini cocok untuk dijadikan buku saku. Setidaknya, melalui buku ringkas ini, orang akan sedikit tahu dan waspada terhadap aliran yang merusak Islam dari dalam. Mungkin inilah tujuan dipublikasikan buku kecil ini yakni memberikan pandangan sekilas. Selanjutnya, jika ingin tahu lebih dalam, bisa membaca kajian komprehensif pada tiga buku di atas. []

Munawar Kasan
Koordinator Indonesia Readers Society Jakarta

Monday, July 31, 2006

Menggagas Asuransi Bencana

Dimuat di Kompas, 21 Juli 2006

Menggagas Asuransi Bencana

Hotbonar Sinaga dan Munawar Kasan

Dalam buku The 100 Greatest Disasters of All Time karya Stephen J Spignesi, dua bencana di Indonesia masuk peringkat ke-22 dan 30. Letusan Gunung Tambora di Sumbawa tahun 1815 merenggut 150.000 jiwa dan menurunkan suhu Bumi. Adapun letusan Gunung Krakatau tahun 1883 menelan 36.000 nyawa.

Jika buku tersebut disusun setelah tsunami Aceh, bencana yang merenggut nyawa sekitar 300.000 jiwa itu akan bertengger di posisi 18.

Pada 27 Mei 2006 gempa meluluhlantakkan Yogyakarta dan sekitarnya. Info yang dirilis website Satuan Koordinasi Pelaksana (Satkorlak) per 27 Juni 2006, terdapat 5.778 korban tewas dan 37.883 luka. Sebanyak 612.000 lebih rumah dan fasilitas umum rusak. Kerugian material diperkirakan Rp 29,2 triliun.

Sejak tsunami Aceh pada akhir 2004 hingga saat ini, setidaknya terjadi lima bencana besar, seperti longsor di TPA Leuwigajah, gempa Nias, gempa Yogyakarta, lumpur panas Sidoarjo, dan banjir di Sinjai, dan sekitarnya.

Kini kita masih hangat memperbincangkan gempa dan dampak negatifnya serta kesulitan yang dihadapi pemerintah dalam menolong rakyatnya, sehubungan gempa bumi dan tsunami di wilayah selatan Pulau Jawa. Data korban jiwa dan harta benda belum selesai dihimpun. Entah berapa lagi korban manusia dan harta bendanya yang tertelan peristiwa itu.

Dari aspek geografis, klimatologis, dan geologis, Indonesia berada di bawah ancaman bencana alam. Berada di antara dua benua dan dua samudra, serta puluhan gunung api aktif, Indonesia sangat rawan tanah longsor, badai, dan letusan gunung berapi. Belum lagi ancaman banjir dan kekeringan.

Posisi Indonesia yang terletak pada pertemuan tiga lempeng benua, yaitu lempeng Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik, menjadikan wilayah Indonesia termasuk dalam Pacific ring of fire yang bisa menimbulkan gempa dahsyat. Dari aspek demografis, besarnya populasi dapat memicu bencana kerusuhan atau bencana akibat ulah manusia (man made disaster).

Asuransi dan RUUPB

Atas dasar inilah Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Bencana (RUUPB) diusulkan DPR. Penyelenggaraan penanggulangan bencana direncanakan meliputi empat bidang, yaitu pengurangan risiko bencana, penanganan tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi, serta penatakelolaan bencana.

RUUPB didesain untuk menggeser cara pandang respons darurat yang berorientasi jangka pendek ke manajemen risiko bencana (catastrophe risk management) dan lebih menjamin keberlangsungan (sustainability).

Namun, sayang, RUUPB sama sekali tidak menyinggung aspek asuransi. Sebagai salah satu teknik pengelolaan risiko, tak perlu disangsikan bahwa asuransi dapat berkontribusi pada tahap mitigasi risiko bencana, tahap rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana. Pada tahapan mitigasi risiko, perusahaan asuransi bisa berpartisipasi sebagai pihak yang memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai cara-cara memperkecil kerugian akibat bencana.

Dalam kasus bencana alam, beberapa jenis asuransi bisa memberikan ganti rugi. Yang paling sering adalah asuransi harta benda, asuransi kendaraan bermotor, asuransi kecelakaan diri, asuransi jiwa, atau asuransi kesehatan.

Dengan asuransi harta benda yang diperluas dengan jaminan risiko gempa bumi, rusaknya bangunan akibat gempa bumi atau tsunami bisa mendapatkan penggantian dari perusahaan asuransi. Juga tersedia asuransi bencana, seperti banjir, tanah longsor, letusan gunung berapi, atau bahkan kerusuhan sosial.

Yang selalu inheren dengan bencana adalah korban manusia. Asuransi kecelakaan diri bisa memberikan penggantian biaya pengobatan atau memberi santunan cacat.

Bagaimana jika korban tewas? Asuransi jiwa akan memberikan santunan kepada ahli waris. Bencana juga selalu menimbulkan pengungsi yang sering kali rentan terserang penyakit. Nah, di sinilah pentingnya asuransi kesehatan. Pengungsi bisa berobat ke rumah sakit dengan biaya ditanggung perusahaan asuransi.

Setiap terjadi bencana, pemerintah selalu merogoh APBN untuk rehabilitasi dan rekonstruksi. Untuk Yogyakarta dan sekitarnya, pemerintah menggelontorkan sedikitnya Rp 6 triliun. PBB pun membantu lebih dari 80 juta dollar AS.

Di sinilah perusahaan asuransi bisa berbicara banyak. Biaya rekonstruksi dan rehabilitasi dalam bentuk pembangunan rumah atau fasilitas umum tidak semuanya akan menjadi tanggungan pemerintah.

Asuransi wajib

Melalui RUUPB, pemerintah bisa menstimulus, bahkan bila perlu mewajibkan masyarakat (secara bertahap) agar mengasuransikan harta benda dan jiwanya. Sebagian masyarakat kita masih berpikir asuransi adalah nomor kesekian dalam prioritas hidupnya. Apalagi masyarakat menengah ke bawah yang masih lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan dasarnya.

Saat terjadi bencana Departemen Sosial berperan pada lapisan (layer) pertama dalam mengoordinasi evakuasi korban dan bantuan sosial. Pada layer kedua, mulailah berfungsi jaminan sosial yang menjamin asuransi jiwa dan asuransi kesehatan. Adapun kerusakan aset tidak ada jaminan sosial. Untuk itulah diperlukan asuransi wajib.

Dalam setiap bencana, persentase klaim asuransi hanya sebagian kecil dari total kerugian. Ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Amerika Serikat, yang masyarakatnya insurance minded, tidak semua mengasuransikan rumahnya terhadap ancaman bencana. Hasil riset National Hurrican Survival Initiative yang dirilis 16 Mei 2006 menyatakan, sepertiga rumah di wilayah rentan badai tidak ada asuransinya.

Hal yang sama terjadi di Jepang. Gempa bumi yang mengguncang Kobe pada Januari 1995 menghancurkan 100.000 bangunan dan 6.500 orang tewas dengan kerugian material lebih dari 110 miliar dollar AS. Klaim asuransi "hanya" 6 juta dollar AS karena kurang dari 5 persen bangunan yang diasuransikan.

Subsidi pembangunan rumah dari pemerintah pascabencana hanya bersifat jangka pendek. Idealnya, pemerintah membuat skema asuransi wajib untuk risiko bencana yang merupakan perluasan dari asuransi kebakaran.

Beberapa negara berkembang, seperti Turki, Iran, dan China, telah mempunyai asuransi wajib. Di Turki, misalnya, pemerintah mewajibkan asuransi gempa bumi pada rumah, ruko, maupun apartemen melalui The Turkish Catastrophic Pool. Pada tahun 2000 dengan limit harga pertanggungan 50.000 dollar AS, premi tahunan sebesar 47 dollar AS.

Dimasukkannya aspek asuransi dalam RUUPB akan memberikan banyak manfaat bagi korban bencana, pemerintah, dan industri asuransi. Dorongan berasuransi oleh pemerintah akan meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia. Efeknya, pertumbuhan industri asuransi di Indonesia semakin baik.

Tahap awal, yang paling mendesak adalah asuransi bencana terhadap rumah tinggal. Selanjutnya bisa asuransi kecelakaan diri, asuransi jiwa, dan seterusnya. Asosiasi asuransi (umum dan jiwa) hendaknya berinisiatif untuk mengajukan usulan konkret semacam Catastrophe Risk Management kepada pemerintah yang antara lain untuk mengetahui besar kecilnya risiko suatu daerah terhadap bencana tertentu, serta cara penanggulangan risiko katastropik dengan memanfaatkan metodologi manajemen risiko.

Bank Dunia juga telah mengirim utusannya ke Indonesia untuk membicarakan asuransi bencana ini, dan siap memberikan asistensi. Tunggu apalagi!

Hotbonar Sinaga Dosen Asuransi dan Manajemen Risiko FEUI, Mantan Ketua Dewan Asuransi Indonesia 2002-2005
Munawar Kasan Staf PT Asuransi ASEI

Friday, June 30, 2006

Resensi Buku - The Metrosexual Guide To Style

Judul : The Metrosexual Guide To Style
Penulis : Michael Flocker
Penerbit : B-first
Tebal : xix + 249 halaman

Berpikir Optimistis & Realistis ala Pria Metroseksual


Di masa 10 tahun lalu banyak orang yang menganggap aneh kalau ada pria pergi ke salon untuk perawatan wajah dan memanjakan tubuh. Demikian pula jika ada pria berdandan dinilai tidak wajar.

Kini, hampir tak ada batas lagi antara pria 'sejati' dan gay. Bahkan ada pria yang tidak kalah dibandingkan wanita dalam hal perawatan tubuh dan ikut tren mode. Inilah yang dijuluki pria metroseksual. Pria seperti ini mendekonstruksi tatanan pemahaman umum bahwa yang punya hak merawat tubuh dan mengikuti perubahan mode hanya wanita.

Istilah metroseksual ini pertama kali diperkenalkan pada 15 November 1994 oleh Mark Simpson dalam sebuah artikel di koran Inggris, The Independent. Pria-pria ini berani merusak kode maskulin dan merengkuh sisi femininnya.

Uang dan waktu banyak digunakan untuk penampilan dan belanja. Artis-artis top dunia pun telah mengampanyekan gaya hidup ini. Bahkan bintang sepak bola, David Beckham dianggap sebagai salah satu ikon metroseksual.

Dahulu hanya segilintir pria yang bergaya metroseksual. Tapi, efek media massa membawa pria yang berada di kehidupan metropolitan di penjuru dunia, mulai terayu dengan gaya hidup ini.

Kehidupan metropolitan telah menuntut para pria untuk mengikuti tata cara metropilis universal seperti etika di acara formal, table manners, dan tentu saja tentang gaya hidup dan mode.

Buku ini juga membeberkan sisi lain pria metroseksual yang tidak hanya menghamburkan uang untuk ke salon, pergi ke tempat senam, atau belanja. Dalam pandangan Michael Flocker, pria metroseksual berarti juga seorang pria yang tidak ketinggalan dalam selera musik, film, bercitarasa seni, mengikuti perkembangan buku-buku, dan lainnya.

Flocker mengelaborasi gaya hidup metroseksual dengan memberikan tuntunan yang cukup rinci. Dalam hal mode, misalnya, dia menguraikan bagaimana berpenampilan sempurna. Dia juga mengupas bagaimana melakukan perawatan kulit, menata rambut, termasuk hal-hal yang direkomendasikan dan hal-hal yang tabu agar bisa tampil menarik.

Beda Perspektif

Pada awalnya, sebutan metroseksual hanya berkonotasi pada penampilan. Namun, menurut Flocker, metroseksual terlalu sempit jika dimaknai sekedar gaya hidup. Ada perspektif yang sama sekali berbeda. Menurut dia, pria metroseksual adalah pria yang selalu memandang hidup dengan optimistis dan realistis.

Pria metroseksual memahami bahwa dalam hidup selalu ada beberapa pilihan, sehingga selalu mencari yang terbaik. Flocker mengelaborasi kekuatan sisi positif, percaya pada diri sendiri, dan pikiran terbuka. Menurutnya, pria metroseksual mengerti bahwa dia sendiri yang bertanggungjawab pada hidupnya sendiri. Apapun perbuatan dan segala pilihannya akan memengaruhi hasil yang didapat.

Perspekstif pria optimistis ini seharusnya selalu dilekatkan dalam setiap pemaknaan metroseksual, sehingga metroseksual tidak sekadar dimaknai sebagai kultur konsumerisme yang cenderung berkonotasi negatif.

Sesuai dengan judulnya, buku ini benar-benar berusaha untuk memberikan tuntunan bagi pria metroseksual. Bagi mereka yang masih gagap menjadi pria metroseksual, buku ini tidak boleh dilewatkan. Dengan bahasa yang ringan dan penuh tips praktis, Flocker menyajikan buku ini enak dibaca.

Sayangnya, karena hanya 249 halaman, untuk pokok bahasan tertentu buku ini tidak menyajikannya secara komprehensif. Dalam hal etika dan berbusana, misalnya, akan lebih mendalam jika membaca buku Etiket karya Mien R. Uno (2005) atau Busana Pria Eksekutif karangan Ratih Peoradisastra (2002).

Selain itu, buku ini juga terasa terlalu bernuansa barat di mana ada beberapa hal yang kurang pas untuk masyarakat Indonesia. Namun, yang terpenting sebenarnya berpikir ala pria metroseksual yakni optimistis sekaligus realistis.

Wednesday, June 28, 2006

Resensi Buku - For God and Country

Judul Buku: For God and Country (Korban Paranoid Amerika)
Penulis: James Yee
Penerjemah: Soemarni
Penerbit: Dastan Books
Cetakan: I, Mei 2006
Tebal: 356 halaman
Dimuat di Jawa Pos, Minggu, 4 Juni 2006


ANTARA PATRIOTISME DAN TUDUHAN PENGKHIANATAN


Buku ini bukan fiksi, tapi kisah yang disajikan layaknya film drama produksi Hollywood. Seorang perwira militer Amerika Serikat (AS) dijebloskan ke penjara berdasarkan sangkaan spionase, melakukan pemberontakan, menghasut, membantu musuh, dan menjadi pengkhianat milter dan negara.

Tapi semuanya tidak terbukti dan akhirnya dibebaskan dari semua dakwaan. Kapten James Yee mendapatkan perlakuan tak beradab dari militer AS karena dia beragama Islam dan reaksi paranoid AS terhadap Islam yang sama sekali tak beralasan.


Yee lahir pada 1968 dari keluarga imigran Cina dan dibesarkan sebagai seorang Kristen Protestan (Lutheran) di New Jersey AS. Saat usia 23 tahun, alumni West Point (akademi militer paling bergengsi di AS) ini masuk Islam. Kegigihannya belajar Islam dan bahasa Arab membawanya ke Suriah. Di sanalah dia bertemu dengan Huda, yang akhirnya dinikahinya.


Pada awal 2001, dia kembali dinas militer di tengah sentimen AS yang kuat terhadap Islam pasca tragedi WTC. Di penjara Guantanamo (Gitmo) dia ditugaskan sebagai ulama militer (chaplain) yang melayani seluruh tahanan yang semuanya Muslim. Penjara Gitmo yang berada di Kuba adalah tempat meringkuknya tawanan yang dituduh berkomplot dengan Osamah Bin Laden dan mantan pasukan Taliban.

Operasi di Guantanamo dilakukan oleh Joint Task Force yang dipimpin Mayor Jendral Geoffrey Miller. Penghuni penjara tidak dianggap sebagai tahanan yang punya hak-hak sesuai Konvensi Jenewa, namun disebut sebagai “pejuang musuh”. Jadi sudah bisa ditebak, perlakuan apa yang mereka terima.

Buku ini sedikit memaparkan kekejaman di Kamp X-Ray dan Kamp Delta. Tahanan dipaksa berlutut berjam-jam dibawah panggangan matahari, sementara kaki dan tangan diborgol. Jika meratap minta minum, maka para penjaga memberinya tendangan. Tidak hanya itu, tahanan juga disuruh mandi air kencing dan kotorannya.

Kekerasan dan perilaku tidak manusiawi yang bertubi-tubi mengakibatkan beberapa tahanan harus pingsan dan mencoba bunuh diri. Pelecehan terhadap Islam dipertontonkan oleh para penjaga. Al Qur’an dilempar, ditendang, diinjak dan disobek (hal 171 & 176). Lemparan batu juga dilakukan pada tahanan yang sedang sholat berjamaah.

Kepedulian Yee terhadap para tahanan membawa pada penangkapannya pada 10 September 2003 di bandara Jacksonville, Florida. Selama 70 hari, dia dikurung di sel dan diperlakukan seperti tahanan. Diperiksa dengan telanjang, tidak diberi makan, diborgol tangan dan kaki, pengaburan panca indera, serta perlakuan lainnya tanpa mempertimbangkan bahwa dia adalah seorang perwira angkatan darat. Teror dan fitnah juga lancarkan agar istrinya juga turut membencinya.

Namun bak sebuah kisah film yang bercerita bahwa yang benar pasti menang, begitulah akhir kisah Yee. Dia dibebaskan dari seluruh tuntutan pada tanggal 19 Maret 2004. Agar tidak kehilangan muka di depan publik, Jenderal Miller beralasan bahwa itu demi kepentingan keamanan AS. Miller juga tetap memberikan teguran atas sangkaan pornografi dan perzinaan agar Yee terlihat buruk di mata publik.

Tapi publik AS tahu bahwa itu bohong semata. Kredibilitas militer AS runtuh akibat kecerobohannya dalam kasus ini. Bahkan New York Times edisi 24 Maret menurunkan tajuk rencana berjudul “Ketidakadilan Militer.”

Meskipun sama sekali bersih dari tuntutan, namun keinginannya untuk tetap mengabdi pada Tuhan dan negara pupus. Yee ‘terpaksa’ mundur dari militer pada 7 Januari 2005.

AS benar-benar paranoid. Siapapun yang dianggap musuh, apapun dilakukan. Tidak peduli itu bertentangan dengan hak asasi manusia, keadilan, konvensi internasional, atau hal lainnya yang selalu digemborkannya sendiri.

Kasus Yee dan penjara Guantanamo makin merontokkan citra AS dimata publik dunia. Kini penutupan penjara Gitmo sedang dipertimbangkan karena tekanan dunia internasional melalui PBB, termasuk sekutu dekatnya, Inggris dan Italia. Sekitar 500 tahanan dari 35 negara kini masih meringkuk dalam penjara itu.

Trial by The Press

Salah satu pelajaran yang bisa dipetik dari kasus Yee adalah peran media massa. Saat proses penahanan, lengkap sudah penderitaan Yee. Bukan saja dipenjarakan tanpa bukti, namun dia juga telah dihakimi oleh media massa (trial by the press) sebelum pengadilan digelar (hal 252 & 278). Pers AS seperti Washington Post, New York Times, Guardian, dll yang mendengungkan hak asasi, justru bersifat tendensius dan tidak cover both side. Informasi yang disajikan adalah versi militer AS.

Namun keteledoran pers tersebut ditebus dengan kritik pedas terhadap pemerintah setelah tuduhan terhadap Yee tidak terbukti. Artikel, tajuk rencana, dan berita-berita yang disuguhkan semuanya berupa pembelaan, bahkan sebagian media massa meminta maaf pada Yee.
Bukan Pengkhianat Tapi Patriot

Patriotisme Yee musnah di mata pemerintah AS hanya karena dia sebagai Muslim taat yang menjalankan tugasnya sesuai ajaran agama dan perintah negara. Tapi dunia tahu bahwa dia adalah seorang patriot sejati yang hidupnya diabdikan kepada Tuhan dan negaranya.

Yee berkisah dengan gaya bahasa yang enak dibaca dan penuh deskripsi yang mudah dibayangkan. Lima dari 12 bab mengulas situasi di Gitmo sehingga pembaca akan punya bayangan detil tentang suasana dan kekejaman di penjara itu. Karena ini buku kesaksian, maka disajikan secara mengalir dari awal Yee masuk militer hingga akhir kisahnya dalam pencarian keadilan.

Buku ini akan makin menggerus kepercayaan orang pada AS. Tumpukan bukti diskriminasi AS terhadap Islam ditambahkan dalam buku ini yang tak akan terbantahkan. Pembaca juga akan tahu bahwa kesalahpahaman terhadap Islam masih subur di dalam militer AS.

***


Artikel - Urgensi Penerapan Manajemen Risiko di Industri Asuransi

Dimuat di Bisnis Indonesia, Selasa, 2 Mei 2006

URGENSI PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO DI INDUSTRI ASURANSI

Oleh: Munawar Kasan*


Dunia asuransi sudah sangat identik dengan manajemen risiko. Maklum, asuransi adalah salah satu teknik di dalam manajemen risiko. Perusahaan asuransi adalah perusahaan yang menerima pengalihan risiko dari tertanggung. Sehingga aktifitas keseharian perusahaan adalah mengelola risiko pihak lain.

Namun hingar bingar pelaksanaan manajemen risiko di dunia perbankan di tanah air, tidak serta merta merembet ke industri asuransi. Pemerintah, melalui Bank Indonesia (BI), mewajibkan bank umum menerapkan manajemen risiko. Peraturan BI nomor 5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 dan Surat Edaran BI nomor 5/21/DPNP tanggal 29 September 2003 mencantumkan manajemen risiko pada delapan jenis risiko di industri perbankan.

Hingga saat ini bisa dipastikan hanya segelintir perusahaan asuransi yang secara formal mempunyai pedoman, kebijakan, atau prosedur manajemen risiko. Apakah dapat diartikan tidak ada penerapan manajemen risiko di dunia asuransi? Secara substansi, perusahaan asuransi telah melakukan prinsip-prinsip manajemen risiko, namun belum komprehensif.

Beberapa perusahaan asuransi yang berusaha menerapkan manajemen risiko, saat ini sedang mencari bentuk. Belum ada panduan pasti sehingga penerapan manajemen risiko masih meraba-raba, tidak seperti di perbankan. Jika BI menetapkan delapan jenis risiko di industri perbankan, namun baik pemerintah maupun asosiasi asuransi, belum menetukan jenis-jenis risiko di industri asuransi.

Berita baik berhembus dari Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang konon kabarnya sedang merencanakan penerapan manajemen risiko di perusahaan BUMN. Dengan demikian, diharapkan penerapan manajemen risiko di industri asuransi bisa dimotori asuransi pelat merah.

Membuat Pedoman

Tujuan penerapan manajemen risiko di industri asuransi pada dasarnya tidak berbeda dengan industri lainnya yakni agar dapat meminimalisir dan mengelola risiko yang berdampak negatif pada tujuan, visi, dan misi perusahaan. Dalam teori dasar manajemen risiko, tahapan-tahapannya adalah menentukan konteks (ruang lingkup dan tujuan), identifikasi risiko, analisa risiko, dan mengontrol risiko. Karena risiko bersifat dinamis, maka harus selalu dilakukan revieu dan monitoring.

Untuk menerapkannya, maka diperlukan pedoman manajemen risiko yang bisa berisi kebijakan dan prosedur manajemen risiko. Selain itu harus ada pelaksananya sehingga diperlukan struktur organisasi manajemen risiko dan siapa saja yang terlibat di dalam penerapannya.

Untuk tiap jenis perusahaan bisa berbeda-beda bentuknya, baik kebijakan, prosedur, struktur organisasi, maupun orang-orang yang terlibat. Dalam hal struktur misalnya, untuk perusahaan besar mungkin memerlukan satu unit khusus untuk menangani menajemen risiko. Namun bagi perusahaan lain, fungsi-fungsi manajemen risiko bisa ‘ditempelkan’ pada unit-unit dalam perusahaan.

Tidak Hanya Risiko Underwriting

Dalam operasionalisasi perusahaan asuransi selama ini, surveyor adalah mereka yang dianggap berada di unit manajemen risiko. Tugasnya melakukan survey terhadap objek yang akan diasuransikan. Surveyor melakukan analisis terhadap objek tersebut dan menyimpulkan tingkat risikonya. Jika dianggap perlu, surveyor bisa merekomendasikan perbaikan (risk improvement) objek tersebut agar dilakukan oleh calon tertanggung. Rekomendasi ini dalam rangka mereduksi peluang risiko atau mengurangi dampaknya jika kerugian terjadi.

Survey risiko adalah salah satu aplikasi kontrol risiko dalam manajemen risiko yang diterapkan di dunia asuransi. Sejatinya, dunia asuransi dilingkari dengan risiko-risiko yang jika tidak ditangani secara benar, akan menganggu kelangsungan perusahaan. Tentu risiko utama terletak pada unit operasional.

Umumnya perusahaan asuransi memfokuskan pada seleksi risiko (underwriting). Jika berbicara risiko underwriting, manajemen risiko dilakukan sejak permintaan penutupan dari tertanggung, sampai keputusan menolak atau menerima pertanggungan. Tidak berhenti di situ, proses manajemen risiko harus dilakukan sampai penerbitan dan penyerahan polis kepada tertanggung.

Dalam perspektif holistik, pelaksanaan survey adalah bagian dari proses manajemen risiko underwriting. Survey juga merupakan aplikasi prinsip kehati-hatian (prudent underwriting) yang selalu menjadi paradigma para underwriter. Jika tidak, klaim bisa membengkak. Upaya lain proses manajemen risiko adalah penempatan reasuransi secara tepat kepada perusahaan reasuransi yang terpercaya.

Namun demikian tidak hanya itu risiko-risiko dalam perusahaan asuransi. Sama dengan perbankan yang tidak cuma menghadapi risiko kredit. Risiko pasar juga bisa menjadi ancaman. Ketidakpastian pasar dan kondisi perekonomian bisa menjadi masalah tersendiri bagi perusahaan asuransi yang harus bisa diperhitungkan dan dikendalikan secara cermat.

Dari sisi lain juga kita bisa lihat bahwa asuransi adalah bisnis jasa atau bisnis ‘penuh janji’. Perusahaan asuransi memasarkan produk intangible atau produk yang tidak bisa dilihat. Yang dijual adalah janji akan mengganti kerugian tertanggung jika memenuhi syarat dan ketentuan polis.

Ada risiko reputasi atau nama baik (brand name) yang jika tidak dikelola dengan tepat akan menjadi risiko yang mematikan (killer risk). Seperti diketahui bahwa sudah mulai ada anggapan bahwa asuransi itu kalau membayar premi bisa lewat ATM, tapi jika mengurus klaim lewat kantor polisi. Persepsi negatif ini perlu dieliminasi dengan teknik-teknik manajemen risiko yang tepat.

Secara keseluruhan, hampir di setiap unit dalam perusahaan asuransi menghadapi risiko. Untuk itu, manajemen risiko di asuransi nantinya tidak sekedar dalam bentuk kebijakan, prosedur, dan struktur organisasi. Penerapan manajemen risiko sebisa mungkin diarahkan menjadi budaya perusahaan. Dengan demikian harus dikomunikasikan kepada manajemen dan semua karyawan.

Sudah saatnya kalangan asuransi merumuskan risiko-risiko yang berpotensi menganggu kelangsungan perusahaan. Lebih dari itu, manajemen risiko dilakukan dengan mempersiapkan rencana darurat (contingency plan) atas risiko-risiko yang kemungkinan terjadinya cukup tinggi dan dampaknya besar. Dengan demikian, risiko yang mengancam tujuan perusahaan bisa dikendalikan dengan baik.

Apa yang terjadi di dunia perbankan, sudah cukup untuk menjadi pelajaran bahwa pelaksanaan manajemen risiko di industri asuransi adalah mendesak.


* Pengajar di Lembaga Pendidikan Asuransi Indonesia (LPAI) dan anggota Indonesian Risk Professional Association (IRPA)

Resensi Buku - Leading In Crisis

Judul Buku: Leading In Crisis (Praktik Kepemimpinan Dalam Mega Merger Bank Mandiri)
Penulis: Robby Djohan
Penerbit: Penerbit Bara
Cetakan: I, Maret 2006
Tebal: xix + 295 halaman
Dimuat koran Media Indonesia, Sabtu, 17 Juni 2006



JURUS MEMIMPIN PERUSAHAAN SEKARAT

Oleh: Munawar Kasan

Sukses menahkodai organisasi dalam kondisi normal, tidak menjadi jaminan berhasil mempimpin saat organisasi diguncang krisis. Robby Djohan, mantan Chief Excecutive Officer (CEO) Bank Niaga, Garuda Indonesia, dan Bank Mandiri ini menghadirkan sebuah buku agar siapapapun, khususnya generasi muda, bisa belajar dari pengalamannya. Dia ingin berbagi ilmu dan pengalaman memimpin perusahaan di saat krisis.


Sebagian kecil isi buku ini pernah dipaparkan dalam buku Robby sebelumnya yang berjudul The Art of Turnaround: Kiat Restrukturisasi, khususnya pada inside story mega merger Bank Mandiri. Namun jangan dikira bahwa buku ini melulu membahas kesuksesan merger Bank Mandiri. Kisah merger yang spektakuler disajikan di sebagian awal buku. Selebihnya, sepuluh dari 12 bab dalam buku ini membahas spektrum yang lebih luas, yakni teori dan praktek kepemimpinan dalam krisis.

Gaya khas Robby dan percaya diri yang tinggi membalik keragu-raguan akan kemampuan anak bangsa dalam memimpin sekenario “Supernova” yakni penggabungan empat bank yakni Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, Bapindo, dan Bank Exim. International Monetary Fund (IMF) memberikan target waktu merger dua tahun, namun dimata Robby cukup enam bulan.

Sebagai CEO bertangan dingin tidak hanya dibuktikan saat memimpin Bank Niaga. Robby juga berhasil ‘menerbangkan’ kembali Garuda yang saat itu mengalami ‘pendaharahan’.

Sangat tepat buku ini diberi judul Leading In Crisis karena cukup mewakili kehadiran Robby di Garuda yang mengalami masalah keuangan dan di Bank Mandiri yang kelahirannya membutuhkan sentuhan ekstra layaknya perusahaan yang mengalami krisis.

Lima Kunci Sukses

Dalam lima bab, Robby memberikan kunci sukses memimpin di saat krisis yaitu trust, focus, team spirit, respect, dan risk. Menurut Robby, memimpin dalam krisis sangat membutuhkan karisma, keahlian, dan behavior untuk mengambil keputusan (hal 149). “Sasaran jangka pendek harus lebih diprioritaskan ketimbang visi dan strategi untuk membangun sustainability,” ujar jebolan Citibank ini.

Kunci kedua adalah kepercayaan (trust). Dalam kasus merger Bank Mandiri, Deutsche Bank yang ditunjuk sebagai konsultan mengakui sulit mendapat kepercayaan dari direksi bank yang akan dimerger, namun Robby berhasil menanganinya.

Komite Merger Bank Mandiri yang dengan bangga disebut Robby sebagai the dream team, mampu menunjukkan sebagai tim terbaik. Robby mampu mengolah team spirit dan memimpinnya dengan skills, experience, dan behaviour positive. Dia juga menunjuk anggota tim yang ahli dan penuh motivasi. Diakuinya bahwa saat krisis Bank Mandiri, karyawan telah demotivated, tetapi semangat terus dipompa dan menghasilkan tim yang solid.

Saling menghormati antara pimpinan dan karyawan adalah mutlak harus dilakukan. Respek akan lahir bila pemimpin menjadi contoh yang baik. Ini yang akan memunculkan self motivation dalam organisasi.

Sementara itu kunci kelima yakni risk. Di sini, Robby berbicara tentang tantangan perubahan. Satu pemikiran dengan Rhenald Kasali dalam buku Change!, keduanya menggunakan kurva perubahan yang dikenal dengan Sigmoid Curve, bahwa setiap organisasi mengikuti siklus perubahan. Untuk itu organisasi harus siap berubah dan tidak perlu takut.

Ditengah pujian kesuksesan Robby meramu dan melaksanakan jurus-jurus merger bank-bank besar yang belum pernah terjadi di Indonesia, selain menghargai kinerja timnya, Robby juga mengakui peran besar karyawan Bank Mandiri yang pada mulanya tidak punya harapan.

Dengan rendah hati, dia juga mengakui bahwa merger dan restrukturisasi hanyalah academic exercise dan tidak berarti apa-apa jika pemerintah tidak menyuntikkan modal sebesar Rp 178 triliun. “Tetapi, tentu saja pemerintah tidak akan memberi dana rekapitalisasi bila merger dan restrukturisasi Bank Mandiri gagal dilaksanakan,” tambahnya dalam kesimpulan buku ini.

Gaya bertutur buku ini juga sangat mirip dengan buku sebelumnya. Kita akan merasakan seolah-olah mendengar kisah dari mulut Robby langsung. Dengan didukung bahasa yang lugas dan khas, serta sedikit gado-gado, akan membuat pembaca penasaran isi buku secara utuh.

Keunggulan buku ini adalah memadukan antara teori dan praktek. Penulis adalah mantan CEO sukses, namun buku ini dihadirkan tidak melulu berkisah tentang pengalaman, namun dibumbuhi lengkap dengan teori-teori kepemimpinan. Jadi tidak seperti banyak buku kepemimpinan karangan akademisi yang ‘hanya berteori’ atau buku success story seorang praktisi. Ini adalah buku kepemimpinan yang bertopang pada teori dan pengalaman sukses penulisnya dalam memimpin.

Layaknya sebuah biografi yang selalu mengumbar kebaikan orang yang ditulis, buku ini juga tidak mengusik sisi negatif dari sosok Robby. Namun begitu, Robby cukup jujur mengakui tentang gaya kepemimpinannya yang sangat decisive dan action oriented yang mungkin tidak semua orang cocok.

Sayangnya buku ini terkesan diskriminatif ketika memberikan the big picture ekonomi politik hanya pada tiga masa presiden yaitu Soekarno, Soeharto, dan Susilo Bambang Yudhoyono. Padahal tiga presiden lainnya juga punya visi dan kebijakan ekonomi-politik yang tidak kalah menarik. Bahkan kebijakan merger justru dilakukan di masa Habibie.

Para pimpinan perusahaan dan para calon pemimpin seharusnya membaca buku ini. Tumpukan buku teori memimpin perusahaan bisa dengan mudah ditemukan di toko buku. Namun buku yang mengupas praktek memimpin perusahaan sekarat dan sekaligus diramu dengan teori kepemimpinan, masih bisa dihitung dengan jari.

Di tengah kondisi ekonomi yang masih krisis, Indonesia sangat membutuhkan banyak ‘Robby Djohan’ untuk bangkit dari keterterpurukan. Apalagi menengok beberapa BUMN yang masih terus merugi dan butuh suntikan dana yang membebani negara.

Yang juga menarik adalah dalam rentang dua bulan, kita disuguhi dua buku yang bertutur kesuksesan memimpin bank besar. Anak bimbing Robby di Bank Niaga yakni Arwin Rasyid juga mengisahkan keberhasilannya memimpin Bank Danamon dalam buku “180 Derajat, Inside Story Transformasi Bank Danamon (Penerbit Bara, Januari 2006)”. ‘Guru dan murid’ itu sama-sama bercerita tentang jerih payah restrukturisasi dalam bentuk merger.

***

Resensi Buku - Memahami Dunia Lewat Sepak Bola

Judul Buku: Memahami Dunia Lewat Sepak Bola
Penulis: Franklin Foer
Penerjemah: Alfinto Wahhab
Penerbit: Marjin Kiri
Cetakan: I, Juni 2006
Tebal: xii + 248 halaman
Dimuat Koran Tempo, Minggu, 18 Juni 2006



SISI LAIN DAYA MAGIS SEPAK BOLA

Oleh: Munawar Kasan


Demam Piala Dunia sedang menjangkiti orang-orang di seluruh dunia. Hajatan akbar itu tidak semata-mata urusan pertandingan antarfinalis World Cup 2006. Sepak bola adalah simbol kemenangan globalisasi.

Sepak bola inheren dengan bisnis kapitalis dan perputaran uang miliaran dollar dalam transfer pemain, iklan, pasar taruhan, hingga urusan mode dan gaya hidup. Dalam buku Sepak Bola, Pesona Sihir Permainan Global, Richard Giulianatti menyebut sepak bola telah menjadi mesin-mesin kebudayaan massa dan menjadi bagian dari budaya pop global.

Tapi pernahkah kita membayangkan bahwa sepak bola ternyata juga tidak lepas dari intrik politik, pemberontakan, pembantaian massal, sentimen etnis, konflik agama, atau perjuangan melawan korupsi? Sepanjang sejarah dunia, banyak gerakan perlawanan yang digodok di lapangan bola. Buku Memahami Dunia Lewat Sepak Bola karya Franklin Foer menyuguhkan fakta-fakta itu.

Mungkin tidak banyak yang tahu sejarahnya mengapa Real Madrid dan FC Barcelona menjadi musuh bebuyutan. Mereka tidak hanya bersaing memperebutkan mahkota La Liga, namun ketegangan itu berakar dari kepentingan politik penguasa Spanyol yang selalu membela Real Madrid sejak tahun 1920-an.

Kekalahan telak El Barca 1-11 atas El Real di semi final Piala Generalissimo tahun 1943 tidak lepas dari intimidasi penguasa pada para pemain Barca. Namun di tengah suasana demokratis saat ini, perasaan terdzalimi Barca justru dimanfaatkannya untuk menekan pemerintah Spanyol agar mengucurkan dana lebih kepada basis Barca di Katalunya.

Kebencian patologis antara klub Glasgow Rangers dan Glasgow Celtic juga dianggap sebagai perang yang belum tuntas antara Katolik dengan gerakan Reformasi Protestan. Masing-masing hooligan siap bertaruh nyawa. Suporter Rangers sering menamakan diri “Billy Boys”, yakni geng yang menghabisi umat Katolik Glasgow pada Perang Dunia I dan II.

Bab pertama buku ini bisa membuat perut bergolak. Tidak lain adalah kisah pembantaian di Bosnia oleh Arkan, pemilik klub sepak bola Obilic. Melalui milisinya, Tigers, yang diantaranya terdiri dari suporter sepak bola, tangan Arkan berlumuran darah orang-orang Islam.

‘Pembunuh bayaran’ Presiden Slobodan Milosevic ini berkontribusi signifikan pada perkembangan sepak bola di Serbia. Di bawah Arkan, klub Obilic mudah menjadi juara karena pemain lawan di bawah bayang-bayang ancaman jika menyarangkan bola ke gawang Obilic.

Cerita hooligan dari negeri kampium bola, Inggris, juga menambah daftar hitam sepak bola. Cerita ini adalah salah satu dari bagian pertama buku yang menjelaskan tentang gagalnya globalisasi dalam mengikis kebencian kuno dalam olah raga ini. Syukurlah Foer tidak hanya mengangkat sisi buram sepak bola.

Bagian kedua menukik pada efek sepak bola pada persoalan ekonomi. Salah satu yang diangkat adalah perjuangan legenda sepak bola, Pele, mereformasi sepak bola Brasil. Setelah diangkat menjadi Menteri Luar Biasa Olah Raga, dia mengajukan UU Pele yakni undang-undang anti korupsi yang memaksa klub sepak bola untuk transparan. Sayangnya gerakan reformasi ini layu setelah Pele mundur dari pemerintahan (hal 126).

Bagian terakhir mengulas sepak bola yang dipakai untuk membela nilai-nilai nasioanalisme gaya lama, sebagai cara meredam kembalinya tribalisme. Kisah manis itu bisa ditemukan di Iran. Di negeri para mullah ini, sepak bola awalnya menjadi olah raga ‘haram’ bagi perempuan. Namun lolosnya Iran ke Piala Dunia 1998 menjadi momentum “revolusi bola”. Rezim yang berkuasa tak kuasa melarang kaum perempuan merayakannya di stadion Azadi. Selanjutnya, efek sepak bola tak terbendung dalam kehidupan rakyat Iran.

Efek-efek Sepak Bola

Sepak bola kini juga telah menjadi simbol kapitalisme global. Sebagai olah raga yang populer, sepak bola adalah bentuk serangan globalisasi yang imbasnya sangat massif. Amerika Serikat, yang dahulu rakyatnya menghujat sepak bola, justru menjadi tuan rumah Piala Dunia 1994. Dalam hal sepak bola, Amerika telah menjadi korban globalisasi.

Buku ini sungguh mencengangkan. Sama sekali tidak ada pembahasan tentang gol ‘tangan Tuhan’ Maradona, total football Belanda, atau gaya catenaccio Italia. Mereka yang mengaku maniak bola belum tentu mengetahui kaitan sepak bola dengan kondisi sosial-politik-historis suatu negara. Dengan bahasa yang lugas, provokatif, bahkan sedikit kasar, pembaca tidak akan sabar untuk merampungkan seluruh isi buku ini.

Memang tidak semua peristiwa bermula dari sepak bola. Kasus-kasus yang diangkat Foer sebagian adalah interaksi ‘tidak sengaja’ antara sepak bola dengan dimensi sosial-politik suatu negara.

Ketika melihat sampul buku, mungkin banyak yang terjebak pertanyaan skeptis adakah hubungan sepak bola dengan sosial-politik globalisasi? Sebagai seorang jurnalis, Foer meracik kisah-kisah sejarah, reportase, dan sedikit analisis sosilogi yang menakjubkan.

Dengan hanya 10 bab, karya Foer ini tidak dimaksudkan sebagai kajian sosiologis yang komprehensif. Di banyak negara pasti punya cerita lain tentang sepak bola dan interaksinya dengan masyarakat. Tapi buku ini bisa menjadi pemicu kajian lain yang lebih terstruktur dalam bingkai analitis-akademis.

Foer secara historis berhasil menghadirkan akar ideologis pemicu perseteruan antarklub sepak bola. Namun seberapa besar kebencian ideologis itu masih bertahan pada generasi saat ini? Tidakkah telah bermetamorfosis secara total? Buku ini tidak memberikan jawabnya secara pasti.

***