Wednesday, June 28, 2006

Artikel - Urgensi Penerapan Manajemen Risiko di Industri Asuransi

Dimuat di Bisnis Indonesia, Selasa, 2 Mei 2006

URGENSI PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO DI INDUSTRI ASURANSI

Oleh: Munawar Kasan*


Dunia asuransi sudah sangat identik dengan manajemen risiko. Maklum, asuransi adalah salah satu teknik di dalam manajemen risiko. Perusahaan asuransi adalah perusahaan yang menerima pengalihan risiko dari tertanggung. Sehingga aktifitas keseharian perusahaan adalah mengelola risiko pihak lain.

Namun hingar bingar pelaksanaan manajemen risiko di dunia perbankan di tanah air, tidak serta merta merembet ke industri asuransi. Pemerintah, melalui Bank Indonesia (BI), mewajibkan bank umum menerapkan manajemen risiko. Peraturan BI nomor 5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 dan Surat Edaran BI nomor 5/21/DPNP tanggal 29 September 2003 mencantumkan manajemen risiko pada delapan jenis risiko di industri perbankan.

Hingga saat ini bisa dipastikan hanya segelintir perusahaan asuransi yang secara formal mempunyai pedoman, kebijakan, atau prosedur manajemen risiko. Apakah dapat diartikan tidak ada penerapan manajemen risiko di dunia asuransi? Secara substansi, perusahaan asuransi telah melakukan prinsip-prinsip manajemen risiko, namun belum komprehensif.

Beberapa perusahaan asuransi yang berusaha menerapkan manajemen risiko, saat ini sedang mencari bentuk. Belum ada panduan pasti sehingga penerapan manajemen risiko masih meraba-raba, tidak seperti di perbankan. Jika BI menetapkan delapan jenis risiko di industri perbankan, namun baik pemerintah maupun asosiasi asuransi, belum menetukan jenis-jenis risiko di industri asuransi.

Berita baik berhembus dari Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang konon kabarnya sedang merencanakan penerapan manajemen risiko di perusahaan BUMN. Dengan demikian, diharapkan penerapan manajemen risiko di industri asuransi bisa dimotori asuransi pelat merah.

Membuat Pedoman

Tujuan penerapan manajemen risiko di industri asuransi pada dasarnya tidak berbeda dengan industri lainnya yakni agar dapat meminimalisir dan mengelola risiko yang berdampak negatif pada tujuan, visi, dan misi perusahaan. Dalam teori dasar manajemen risiko, tahapan-tahapannya adalah menentukan konteks (ruang lingkup dan tujuan), identifikasi risiko, analisa risiko, dan mengontrol risiko. Karena risiko bersifat dinamis, maka harus selalu dilakukan revieu dan monitoring.

Untuk menerapkannya, maka diperlukan pedoman manajemen risiko yang bisa berisi kebijakan dan prosedur manajemen risiko. Selain itu harus ada pelaksananya sehingga diperlukan struktur organisasi manajemen risiko dan siapa saja yang terlibat di dalam penerapannya.

Untuk tiap jenis perusahaan bisa berbeda-beda bentuknya, baik kebijakan, prosedur, struktur organisasi, maupun orang-orang yang terlibat. Dalam hal struktur misalnya, untuk perusahaan besar mungkin memerlukan satu unit khusus untuk menangani menajemen risiko. Namun bagi perusahaan lain, fungsi-fungsi manajemen risiko bisa ‘ditempelkan’ pada unit-unit dalam perusahaan.

Tidak Hanya Risiko Underwriting

Dalam operasionalisasi perusahaan asuransi selama ini, surveyor adalah mereka yang dianggap berada di unit manajemen risiko. Tugasnya melakukan survey terhadap objek yang akan diasuransikan. Surveyor melakukan analisis terhadap objek tersebut dan menyimpulkan tingkat risikonya. Jika dianggap perlu, surveyor bisa merekomendasikan perbaikan (risk improvement) objek tersebut agar dilakukan oleh calon tertanggung. Rekomendasi ini dalam rangka mereduksi peluang risiko atau mengurangi dampaknya jika kerugian terjadi.

Survey risiko adalah salah satu aplikasi kontrol risiko dalam manajemen risiko yang diterapkan di dunia asuransi. Sejatinya, dunia asuransi dilingkari dengan risiko-risiko yang jika tidak ditangani secara benar, akan menganggu kelangsungan perusahaan. Tentu risiko utama terletak pada unit operasional.

Umumnya perusahaan asuransi memfokuskan pada seleksi risiko (underwriting). Jika berbicara risiko underwriting, manajemen risiko dilakukan sejak permintaan penutupan dari tertanggung, sampai keputusan menolak atau menerima pertanggungan. Tidak berhenti di situ, proses manajemen risiko harus dilakukan sampai penerbitan dan penyerahan polis kepada tertanggung.

Dalam perspektif holistik, pelaksanaan survey adalah bagian dari proses manajemen risiko underwriting. Survey juga merupakan aplikasi prinsip kehati-hatian (prudent underwriting) yang selalu menjadi paradigma para underwriter. Jika tidak, klaim bisa membengkak. Upaya lain proses manajemen risiko adalah penempatan reasuransi secara tepat kepada perusahaan reasuransi yang terpercaya.

Namun demikian tidak hanya itu risiko-risiko dalam perusahaan asuransi. Sama dengan perbankan yang tidak cuma menghadapi risiko kredit. Risiko pasar juga bisa menjadi ancaman. Ketidakpastian pasar dan kondisi perekonomian bisa menjadi masalah tersendiri bagi perusahaan asuransi yang harus bisa diperhitungkan dan dikendalikan secara cermat.

Dari sisi lain juga kita bisa lihat bahwa asuransi adalah bisnis jasa atau bisnis ‘penuh janji’. Perusahaan asuransi memasarkan produk intangible atau produk yang tidak bisa dilihat. Yang dijual adalah janji akan mengganti kerugian tertanggung jika memenuhi syarat dan ketentuan polis.

Ada risiko reputasi atau nama baik (brand name) yang jika tidak dikelola dengan tepat akan menjadi risiko yang mematikan (killer risk). Seperti diketahui bahwa sudah mulai ada anggapan bahwa asuransi itu kalau membayar premi bisa lewat ATM, tapi jika mengurus klaim lewat kantor polisi. Persepsi negatif ini perlu dieliminasi dengan teknik-teknik manajemen risiko yang tepat.

Secara keseluruhan, hampir di setiap unit dalam perusahaan asuransi menghadapi risiko. Untuk itu, manajemen risiko di asuransi nantinya tidak sekedar dalam bentuk kebijakan, prosedur, dan struktur organisasi. Penerapan manajemen risiko sebisa mungkin diarahkan menjadi budaya perusahaan. Dengan demikian harus dikomunikasikan kepada manajemen dan semua karyawan.

Sudah saatnya kalangan asuransi merumuskan risiko-risiko yang berpotensi menganggu kelangsungan perusahaan. Lebih dari itu, manajemen risiko dilakukan dengan mempersiapkan rencana darurat (contingency plan) atas risiko-risiko yang kemungkinan terjadinya cukup tinggi dan dampaknya besar. Dengan demikian, risiko yang mengancam tujuan perusahaan bisa dikendalikan dengan baik.

Apa yang terjadi di dunia perbankan, sudah cukup untuk menjadi pelajaran bahwa pelaksanaan manajemen risiko di industri asuransi adalah mendesak.


* Pengajar di Lembaga Pendidikan Asuransi Indonesia (LPAI) dan anggota Indonesian Risk Professional Association (IRPA)

No comments: