Wednesday, June 28, 2006

Resensi Buku - For God and Country

Judul Buku: For God and Country (Korban Paranoid Amerika)
Penulis: James Yee
Penerjemah: Soemarni
Penerbit: Dastan Books
Cetakan: I, Mei 2006
Tebal: 356 halaman
Dimuat di Jawa Pos, Minggu, 4 Juni 2006


ANTARA PATRIOTISME DAN TUDUHAN PENGKHIANATAN


Buku ini bukan fiksi, tapi kisah yang disajikan layaknya film drama produksi Hollywood. Seorang perwira militer Amerika Serikat (AS) dijebloskan ke penjara berdasarkan sangkaan spionase, melakukan pemberontakan, menghasut, membantu musuh, dan menjadi pengkhianat milter dan negara.

Tapi semuanya tidak terbukti dan akhirnya dibebaskan dari semua dakwaan. Kapten James Yee mendapatkan perlakuan tak beradab dari militer AS karena dia beragama Islam dan reaksi paranoid AS terhadap Islam yang sama sekali tak beralasan.


Yee lahir pada 1968 dari keluarga imigran Cina dan dibesarkan sebagai seorang Kristen Protestan (Lutheran) di New Jersey AS. Saat usia 23 tahun, alumni West Point (akademi militer paling bergengsi di AS) ini masuk Islam. Kegigihannya belajar Islam dan bahasa Arab membawanya ke Suriah. Di sanalah dia bertemu dengan Huda, yang akhirnya dinikahinya.


Pada awal 2001, dia kembali dinas militer di tengah sentimen AS yang kuat terhadap Islam pasca tragedi WTC. Di penjara Guantanamo (Gitmo) dia ditugaskan sebagai ulama militer (chaplain) yang melayani seluruh tahanan yang semuanya Muslim. Penjara Gitmo yang berada di Kuba adalah tempat meringkuknya tawanan yang dituduh berkomplot dengan Osamah Bin Laden dan mantan pasukan Taliban.

Operasi di Guantanamo dilakukan oleh Joint Task Force yang dipimpin Mayor Jendral Geoffrey Miller. Penghuni penjara tidak dianggap sebagai tahanan yang punya hak-hak sesuai Konvensi Jenewa, namun disebut sebagai “pejuang musuh”. Jadi sudah bisa ditebak, perlakuan apa yang mereka terima.

Buku ini sedikit memaparkan kekejaman di Kamp X-Ray dan Kamp Delta. Tahanan dipaksa berlutut berjam-jam dibawah panggangan matahari, sementara kaki dan tangan diborgol. Jika meratap minta minum, maka para penjaga memberinya tendangan. Tidak hanya itu, tahanan juga disuruh mandi air kencing dan kotorannya.

Kekerasan dan perilaku tidak manusiawi yang bertubi-tubi mengakibatkan beberapa tahanan harus pingsan dan mencoba bunuh diri. Pelecehan terhadap Islam dipertontonkan oleh para penjaga. Al Qur’an dilempar, ditendang, diinjak dan disobek (hal 171 & 176). Lemparan batu juga dilakukan pada tahanan yang sedang sholat berjamaah.

Kepedulian Yee terhadap para tahanan membawa pada penangkapannya pada 10 September 2003 di bandara Jacksonville, Florida. Selama 70 hari, dia dikurung di sel dan diperlakukan seperti tahanan. Diperiksa dengan telanjang, tidak diberi makan, diborgol tangan dan kaki, pengaburan panca indera, serta perlakuan lainnya tanpa mempertimbangkan bahwa dia adalah seorang perwira angkatan darat. Teror dan fitnah juga lancarkan agar istrinya juga turut membencinya.

Namun bak sebuah kisah film yang bercerita bahwa yang benar pasti menang, begitulah akhir kisah Yee. Dia dibebaskan dari seluruh tuntutan pada tanggal 19 Maret 2004. Agar tidak kehilangan muka di depan publik, Jenderal Miller beralasan bahwa itu demi kepentingan keamanan AS. Miller juga tetap memberikan teguran atas sangkaan pornografi dan perzinaan agar Yee terlihat buruk di mata publik.

Tapi publik AS tahu bahwa itu bohong semata. Kredibilitas militer AS runtuh akibat kecerobohannya dalam kasus ini. Bahkan New York Times edisi 24 Maret menurunkan tajuk rencana berjudul “Ketidakadilan Militer.”

Meskipun sama sekali bersih dari tuntutan, namun keinginannya untuk tetap mengabdi pada Tuhan dan negara pupus. Yee ‘terpaksa’ mundur dari militer pada 7 Januari 2005.

AS benar-benar paranoid. Siapapun yang dianggap musuh, apapun dilakukan. Tidak peduli itu bertentangan dengan hak asasi manusia, keadilan, konvensi internasional, atau hal lainnya yang selalu digemborkannya sendiri.

Kasus Yee dan penjara Guantanamo makin merontokkan citra AS dimata publik dunia. Kini penutupan penjara Gitmo sedang dipertimbangkan karena tekanan dunia internasional melalui PBB, termasuk sekutu dekatnya, Inggris dan Italia. Sekitar 500 tahanan dari 35 negara kini masih meringkuk dalam penjara itu.

Trial by The Press

Salah satu pelajaran yang bisa dipetik dari kasus Yee adalah peran media massa. Saat proses penahanan, lengkap sudah penderitaan Yee. Bukan saja dipenjarakan tanpa bukti, namun dia juga telah dihakimi oleh media massa (trial by the press) sebelum pengadilan digelar (hal 252 & 278). Pers AS seperti Washington Post, New York Times, Guardian, dll yang mendengungkan hak asasi, justru bersifat tendensius dan tidak cover both side. Informasi yang disajikan adalah versi militer AS.

Namun keteledoran pers tersebut ditebus dengan kritik pedas terhadap pemerintah setelah tuduhan terhadap Yee tidak terbukti. Artikel, tajuk rencana, dan berita-berita yang disuguhkan semuanya berupa pembelaan, bahkan sebagian media massa meminta maaf pada Yee.
Bukan Pengkhianat Tapi Patriot

Patriotisme Yee musnah di mata pemerintah AS hanya karena dia sebagai Muslim taat yang menjalankan tugasnya sesuai ajaran agama dan perintah negara. Tapi dunia tahu bahwa dia adalah seorang patriot sejati yang hidupnya diabdikan kepada Tuhan dan negaranya.

Yee berkisah dengan gaya bahasa yang enak dibaca dan penuh deskripsi yang mudah dibayangkan. Lima dari 12 bab mengulas situasi di Gitmo sehingga pembaca akan punya bayangan detil tentang suasana dan kekejaman di penjara itu. Karena ini buku kesaksian, maka disajikan secara mengalir dari awal Yee masuk militer hingga akhir kisahnya dalam pencarian keadilan.

Buku ini akan makin menggerus kepercayaan orang pada AS. Tumpukan bukti diskriminasi AS terhadap Islam ditambahkan dalam buku ini yang tak akan terbantahkan. Pembaca juga akan tahu bahwa kesalahpahaman terhadap Islam masih subur di dalam militer AS.

***


No comments: